Selasa, 09 Mei 2017

HADIST TENTANG SEWA DAN GADAI




Syari’at Islam memerintahkan umatnya agar saling tolong-menolong dalam segala hal, salah satunya dapat dilakukan dengan cara pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur atau orang yang memberikan pinjaman agar jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, pihak kreditur diperbolehkan meminta barang kepada debitur sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan kepadanya.
Gadai-menggadai dan sewa-menyewa sudah merupakan kebiasaan sejak zaman dahulu kala dan sudah dikenal dalam adat kebiasaan. Gadai dan sewa sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. dan Rasulullah sendiri pun telah mempraktikkannya.
Tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai maupun sewa juga masih berlaku hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah dalam gadai dan sewa itu sendiri, seperti Peerbangkan Syariah dan Pegadaian Syariáh.
Di dalam Islam, pegadaian dan sewa-menyewa itu tidak dilarang, namun harus sesuai dengan syariát islam, seperti tidak memungut bunga dalam praktik yang dijalankan. Selanjutnya dalam makalah ini akan dijelaskan gadai dan sewa menurut pandangan islam.

1.     Apakah  gadai itu ?
2.     Bagaimana dasar hukum gadai menurutAl-Qur’an dan Hadits?
3.     Apakah rukun dan syarat Rahn?
4.     Bagaimana pengertian ijarah dan dasar hukumnya ?
5.     Apa Syarat dan Rukun Ijarah?
6.     Apa Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik ?
7.     Sebutkan Perbedaan Ijarah dan Ju’alah?

1.     Mengetahui tentang definisi dan pengertian gadai menurut syariah
2.     Mengetahui dasar hukum gadai menurut Al-Qur’an Hadits
3.     Mengetahui hukum memanfaatkan barang yang digadaikan
4.     Untuk mengetahui pengertian ijarah dan dasar hukumnya
5.     Untuk mengetahui Syarat dan Rukun Ijarah
6.     Untuk mengetahui Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik
7.     Untuk mengetahui Perbedaan Ijarah dan Ju’alah




Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu tetap, kekalataupenahanan.
Sedangkan gadai atau Rahn menurut syariah adalah penyerahan harta benda sebagai jaminan hutang, yang hak kepemilikannya dapat diambil alih ketika sulit untuk menebusnya.
Menurut ulama Syafi’iyah gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang. Sedangkan menurut ulama hanabilah gadai adalah harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi jaminan.
Dalam buku lain dijelaskan pula bahwa gadai adalah :
1.       menjadikan suatu barang yang bernilai menurut syara’, sebagai jaminan atas piutang, yang memungkinkan terbayarnya hutang si peminjam kepada pihak yang memberikan pinjaman.
2.       Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn secara etimologi berarti “tetap.
3.       menjadikan barang yang bernilai atau berharga sebagai jaminan atas hutang yang dibebankan sampai terbayarnya hutang tersebut.

Sebagaimana halnya dengan jual-beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh digadaikan. Dalil yang melandasi gadai telah ditetapkan dalam Al-qur’an dan Hadits.

1.       Al-Qur’an
Ayat Al-qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 283, diantaranya adalah :

مَّقْبُوْضَةٌ فَرِهٰنٌ كَاتِبًا تَجِدُوْا لَمْ وَ سَفَرٍ عَلٰى كُنْتُم إِذَا وَ

“jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”(QS. Al-Baqarah : 283)
Firman Allah : (سَفَرٍ عَلٰى كُنْتُم إِذَا وَ) “Jika kamu dalam perjalanan”. Yakni, sedang melakukan perjalanan dan terjadi hutang piutang sampai batas waktu tertentu, (كَاتِبًا تَجِدُوْا لَمْوَ“sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis.” Yaitu seorang penulis yang menuliskan transaksi untukmu. Ibnu Abbas mengatakan: “Atau mereka mendapatkan seorang penulis, tetapi tidak mendapatkan kertas, tinta atau pena, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh pemberi pinjaman. Maksudnya, penulisan itu diganti dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi pinjaman.” Firman Allah Ta’ala: (مَّقْبُوْضَةٌفَرِهٰنٌ) “Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”Ayat ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat imam syafi’i dan jumhur ulama. Dan ulama lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang jaminan itu harus berada ditangan orang yang memberikan gadai.

Menurut ayat yang tertera diatas, bahwasannya Al-Qur’an memperbolehkan adanya hukum akad gadai, dengan mengecualikan jika adanya unsur riba yang terdapat didalamnya.

2.        Hadits
Yang menjadi landasan hukum atau dasar daripada akad Gadai (Rahn) selain Al-Qur’an ialah beberapa hadits yang menjelaskan tentang akad Gadai sebagai berikut:
a.       Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
 “Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya, lalu beliau menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan”. (shahih muslim)
b.      Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda :
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
 “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).
c.       Nabi bersabda :
عن    أَبِي هُرَيْرَةَ    قَالَ    رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ    الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (shahih muslim)
d.      Nabi bersabda :
عن عائشة – رضي الله عنها- قالت يا رسول الله ! ان فلانا قدم له بز من الشام فلو بعثت اليه فاخذت منه ثوبين بنسيئة الي ميسرة ؟ فارسل اليه فامتنع . اخرجه الحاكم, والبيهقي ورجاله ثقات
Dari A’isyah, iya berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang pakaian telah datang pada si Pulan dari Syam. Seandainya baginda mengutus seseorang kepadanya, maka baginda akan mendapatkan dua potong pakaian dengan pembayaran tunda hingga mampu membayarnya.” Lalu Rasulullah mengutus seseorang kepadanya, namun pemiliknya menolak.(dikeluarkan oleh Al-Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.

3.       Ijma’
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyari’atkan pada waktu tidak epergian maupun pada waktu bepergian, berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah Saw dalam hadits di atas.

Demi keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan, ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1.      Ijab Qabul (sighat)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak. Sebab, gadai merupakan perjanjian yang melibatkan harta sehingga perlu dimanifestasikan dalam bentuk pernyataan tersebut seprti halnya jual beli, karena gadai sendiri itu tak jauh berbeda dengan akad jual-beli. Seperti yang telah ditetapkan dalam kaidah fiqh:
وكل ما جاز بيعه جاز رهنه
“Setiap  sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual maka boleh digadaikan.”
            Jika ditarik kesimpulan dari kaidah diatas, maka secara tidak langsung ditemukan kesamaan hukum diantara kedua akad yang berbeda tersebut, yakni harus sama-sama menggunakan wazan sighat, yakni Ijab dan Qabul antara Rahindan Murtahin.
2.      Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaituRahin (pemberi gadai) dan Murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal sehat, dan atas keinginan sendiri.
3.      Adanya barang yang digadaikan (Marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh Rahin(pemberi gadai) adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat, milik Rahin  secara sah, jelas, tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh Rahin, dan harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Dengan demikian barang-barang yang tidak dapat diperjual-belikan tidak dapat digadaikan.
4.      Hutang (Marhun Bih)
Menurut ulama Syafiiyah syarat sebuah hutang yang dapat dijadikan alas hak atas gadai adalah berupa hutang yang tetap dapat dimanfaatkan , hutang tersebut harus lazim pada waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui oleh Rahin dan Murtahin.

Sedangkan menurut aturan dasar pegadaian di Indonesia, barang-barang yang dapat digadaikan  di lembaga itu hanyalah berupa barang-barang bergerak (gadai dalam KUH Perdata hanyalah berbentuk barang-barang bergerak), tentunya dengan beberapa pengecualian. Pengecualian disini artinya barang yang tidak dapat digadaikan. Barang-barang tersebut antara lain:
1.      Barang milik Negara, seperti sepeda motor dinas, mesin tik kantor.
2.      Hewan yang hidup dan tanaman.
3.      Segala makanan dan benda yang mudah busuk.
4.      Barang yang karena ukurannya besar, tidak dapat disimpan dalam gadaian.
5.      Benda yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk, atau tidak dapat memberikan keterengan-keterangan tentang barang yang digadaika.



Dalam memanfaatkan barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang-barang gadai tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi SAW:
و عن علي قال:قال رسول الله- صلى الله عليه وسلم – كل قرض جر منفعة فهو ربا. رواه الحارث ابن اسامة
Dari Ali, ia mengatakan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap hutang(Pinjaman) yang menghasilkan manfaat adalah riba.” Hadis riwayat Harits bin Abu Usamah. 
Akan tetapi ada beberapa pendapat Ulama tentang boleh tidaknya memanfaatkan barang gadai, yaitu :
1). Pendapat Syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah yang mempunyai hak atas manfaat barang gadai (marhun) adalah rahin, walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan murtahin. Hal ini berdasarkan hadis Rasululllah saw. berikut ini :
1.                   وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
Dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw Bersabda: “Gadai itu tidak menutup yang punya dari manfaat  barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggung jawabkan segalanya”. (HR. Al-Hakim dan Daruqutny).
2.                   Dari Umar bahwasannya Rasulullah Saw Bersabda:“Hewan sesorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya.”(HR. Bukhary).
Berdasarkan hadis di atas, menurut ulama Syafi’iyah bahwa barang gadai (marhun) hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai (murtahin), sedangkan kepemilikan tetap ada pada rahin.
Dengan demikian, manfaat atau dari hasil barang yang digadaikan adalah milik rahin.Pengurangan terhadap nilai atau harga dari barang gadai tidak diperbolehkan kecuali atas izin pemilik barang gadai.
2). Pendapat Malikiyah
Murtahin dapat memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang dengan beberapa syarat, yaitu :
1.                   Hutang disebabkan jual beli, bukan karena menghutangkan.
2.                   Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun untuknya.
3.                   Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya, maka menjadi batal.
Pendapat Malikiyah ini berdasar kepada hadis Nabi Muhammad saw. yaitu:

عن    أَبِي هُرَيْرَةَ    قَالَ    رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ    الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.

3).  Pendapat Hanabilah
Ulama Hanabilah membagi marhun menjadi dua katagori yaitu hewan dan bukan hewan.Apabila barang gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi maka boleh menjadikannya sebagai khadam.Tetapi apabila barang gadai berupa rumah, sawah kebun dan sebagainya maka tidak boleh mengambil manfaatnya.
Adapun yang menjadi landasan adalah:
Kebolehan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai yang dapat ditunggangi adalah
hadis Rasulullah saw. :
عن    أَبِي هُرَيْرَةَ    قَالَ    رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ    الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.
Boleh murtahin memanfaatkan barang gadai atas sizin pihak rahin dan nilai manfaatnya harus disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk marhun didasarkan atas hadis diatas.
4). Pendapat Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, alasannya adalah hadis Nabi saw.
عن    أَبِي هُرَيْرَةَ    قَالَ    رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ    الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai, maka barang gadai dikuasai oleh penerima gadai.Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai, maka berarti menghilangkan manfaat barang tersebut, padahal barang tersebut memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal tersebut dapat mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai.
Dari keempat pendapat di atas pada dasarnya memanfaatkan barang gadai  tidak diperbolehkan karena tindakan memanfaatkan barang gadai tak ubahnya qiradh dan setiapqiradh yang mengalir manfaat adalah riba, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi SAW:
و عن علي قال:قال رسول الله- صلى الله عليه وسلم – كل قرض جر منفعة فهو ربا. رواه الحارث ابن اسامة
Dari Ali, ia mengatakan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap hutang(Pinjaman) yang menghasilkan manfaat adalah riba.” Hadis riwayat Harits bin Abu Usamah.
Akan tetapi jika barang yang digadaikan itu berupa hewan ternak yang bisa diambil susunya atau ditunggangi dan pemilik barang gadai memberi izin untuk memanfaatkan barang tersebut maka penerima gadai boleh memanfaatkannya sebagai imbalan atas beban biaya pemeliharaan hewan yang dijadikan marhun tersebut.
Sedangkan menurut Imam Ahmad, Ishak, Al-Laits dan Al-Hasan berpendapat bahwa jika barang gadaiaan berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Rasulullah Saw. Bersabda:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan..
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai diatas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang diperbolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
Kegunaan gadai ialah memberi kewenangan kepada penggadai melakukan penjualan barang gadaian ketika diperlukan untuk pelunasan wajib hutang pegadai. Apabila pegadai menolak melakukannya, yakni tuntutan penggadai untuk menjual barang gadaian, hakim segera menetapkan keputusan membayar hutang atau menjual barang gadaian.

1.      Ikatan Gadai
Gadai adalah akad yang mengandung unsur ibadah sunnah yang memerlukan qabul sehingga akad gadai tidak akan mengikat, kecuali diadakannya serah terima sama seperti hibah dan akad pinjam meminjam utang. Oleh karena itu, pegadai berhak membatalkan akad gadai sebelum serah terima barang gadaian dilakukan, sedangkan pascaserah terima barang akad gadai menjadi mengikat (wajib ditepati).
      Bagi penggadai sendiri, akad gadai tidak mengikat haknya dalam situasi apapun. Dia berhak membatalkan akad gadai kapan pun dia menghendaki, karena kebaikan gadai bagi dirinya terletak didalam serah terima barang gadaian. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Daruquthni dan Hakim, dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw Bersabda:

( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
 “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).


2.      Tindak Lanjut Terhadap Barang Gadaian
Ketika akad gadai telah mengikat yang ditandai dengan serah terimahnya barang gadaian, barang gadaian yang bergerak berpindah tangan kepada pegadai untuk memastikan adanya jaminan. Kekuasaan penggadai terhadap barang gadaian tidak akan pernah hilang, kecuali memberi kewenangan pegadai untuk memanfaatkan barang yang digadaikan tersebut.

3.      Berakhirnya Ikatan Akad Gadai
Ikatan  akad gadai dalam pandangan syara’ berakhir atau habis masanya dengan berbagai hal sebagai berikut.
a.       Pembatalan akad gadai dari pihak penggadai walaupun tanpa adanya restu dari pihak pegadai, dikarenakan hak gadai adalah milik penggadai, sedangkan gadai dari jalur penggadai bersifat tidak mengikat.
b.      Adanya pelunasan semua hutang. Menurut ijma’ ulama, apabila hutang masih tersisa meski sedikit, akad gadai belum berakhir. Hal ini sama seperti hak penahanan barang yang diperjual belikan karena gadai merupakan jaminan semua bagian terkecil dari hutang.
c.       Binasa atau rusaknya barang gadaian karena akad gadai akan berakhir karena hilangnya objek akad atau tersia-sianya barang gadaian.
d.      Barang gadaian berubah menjadi barang yang tidak lagi berharga, yakni sesuatu yang tidak mubah untuk diambil kemanfaatannya. Sebagaimana contoh barang gadaian berupa perasan anggur, yang berubah menjadi arak ketika sebelum jatuh tempo pelunasan, maka akad gadai menjadi batal seketika bersamaan dengan berubahnya barang gadaian itu.

Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin (penggadai) tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka Marhun(barang yang digadaikan) menjadi milik murtahin (orang yang menerima gadai) sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahinyang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihakrahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahinsendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahinmasih menanggung pembayaran keduanya.

H.    Pengertian Ijarah Dan Dasar Hukumnya
         1.    Pengertian Sewa-Menyewa (Ijarah)
Sewa menyewa atau dalam bahasa Arab berasal dari kata:   ,أجرyang sinonimnya:
a.     
أكريYang artinya: menyewakan, seperti dalam kalimat:  أجر الشئ (menyewakan sesuatu)
b.   
أعطاه أجرا  yang artinya: ia memberinya upah, seperti dalam kalimat: أجر فلانا على كذا  (ia memberikan kepada si fulan upah sekian).
c.   
أثابه yang artinya: memberinya pahala, seperti dalam kalimat: أجر الله عبده  (allah memberikan pahala kepada hamba-Nya).
Al Fikri mengartikan ijarah menurut bahasa dengan:
الكراة أو بيع المنفعة   yang artinya: sewa-menyewa atau jual beli manfaat. Sedangkan Sayid Sabiq mengemukakan: 
الإجارة مشتقة من الأجر وهو العوض, ومنه سمي الثواب أجرا
Ijarah diambil dari kata “Al-Ajr” yang artinya ‘iwadh (imbalan), dari pengertian ini pahala (tsawab) dinamakan ajr (upah/pahala).

Dalam pengertian istlilah, terhadap perbedaan pendapat dikalangan ulama.
1.)    Menurut Hanafiah
الإجارةعقد على المنفعة بعوض هومال
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.
2.)    Menurut malikiyah
الإجارة .... عةد يفيد تمليكا منافع شئ مباح مدمة معلومة بعوض غير ناشئ عن المنفعة
Ijarah..... adalah akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
3.)    Menurut syafi’iyah
وحد عقد الإجارة عقد على منعة مقصودة معلومة قابلة للبذل ولإباحة بعوض معلوم
Definisi akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
4.)    Menurut Hanbaliyah
وهي عقد على المنافع تنعد بلفظ الإجارة والكرأ وما في معناهما
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.
Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, obyek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang).

I.    Dasar Hukum Ijarah
   Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak memperbolehkan Ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukan akad, tidak bisa diserahterimakan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu pada waktu akad tidak boleh diperjual belikan.  Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh ibn Rush, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada galibnya ia (manfaat) akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara’.
Alasan Jumhur Ulama tentang dibolehkannya ijarah adalah,
a.    QS. Ath-thalaq (65) ayat 6:
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦
Artinya : Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
b.    QS. Al-Qashash (28) ayat 26 dan 27:
قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَ‍ٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَ‍ٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦ قَالَ إِنِّيٓ أُرِيدُ أَنۡ أُنكِحَكَ إِحۡدَى ٱبۡنَتَيَّ هَٰتَيۡنِ عَلَىٰٓ أَن تَأۡجُرَنِي ثَمَٰنِيَ حِجَجٖۖ فَإِنۡ أَتۡمَمۡتَ عَشۡرٗا فَمِنۡ عِندِكَۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أَشُقَّ عَلَيۡكَۚ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٢٧
Aritnya : (26). Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (27). Berkatalah dia (Syu´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"
c.    Hadis Aisyah
عن عروة بن الزبير أن عائسة رضي الله عنها زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت : واستأجر رسول الله صلى الله علىه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل هاديا خريتا وهو على دين كفار قريش فدفعا إليه راحلتيهما ووعداه غار ثوربعد ثلاث ليل براحلتيهما صبح ثلث.
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra.istri nabi SAW berkata : Rasulallah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari suku bani Ad Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk agama orang kafir quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Syur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa. (H.R Bukhori)

J.    Syarat Dan Rukun Ijarah
1.    Rukun Ijarah
Menurut Ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan Qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat :  al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’ dan al-ikra’.
Adapun menurut Jumhur Ulama , rukun ijarah ada 4 yaitu:
1.    ‘Aqid ( orang yang akad).
2.    Shigat akad.
3.    Ujrah (upah).
4.    Manfaat
2.    Syarat Ijarah



Syarat ijarah terdiri dari empat macam, sebagaimana syarat dalam jual beli, yaitu syarat Al-inqad ( terjadinya akad), syarat an-nafadz ( syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
a)    Syarat Terjadinya Akad
Syarat Al-inqad ( terjadinya akad) berkaitan dengan akid, zat akad dan tempat akad.    Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual beli, menurut Ulama Hanafiyah, ‘Aqid ( orang yang melakukn akad  disyaratkan harus berakal dan mumayyiz ( minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijrah anak mumayyiz, dipandang sah bila diijinkan walinya.
    Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan  anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad .
b)    Syarat Pelaksanaan ( an-nafadz)
 Agar ijarah terlaksana, brang harus dimiliki oleh ‘aqid (orang yang akad) atau ia yang memiliki kekuasaan penuh untuk akad  (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diijinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadkan adanya ijarah.

K.    Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid  (orang yang akad),  ma’qud alaih (barang menjadi objek akad),  ujrah (upah) dan zat akad (nafs al-aqad), yaitu:
a.    Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
Syarat ini didasarkan pada fir man Allah SWT QS. An-Nisa:29
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang yang dilakukan suka sama suka.”
    Ijarah dapat dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.
b.    Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid.
    Diantara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
c.    Ma’qud alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk untuk berbicara dengan anaknya , sebab hal itu sangat mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seseorang perempuan yang sedang haid untuk membersihkan mesjid sebab diharamkan syara’.
d.    Kemanfaatan benda dibolehkan menurut Syara’

L.    Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik
Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan.
Definisinya : Istilah ini tersusun dari dua kata : At-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa), At-tamliik (kepemilikan). Definisi dua kata tersebut secara keseluruhan :
Pertama, at-ta’jiir menurut bahasa ; diambil dari kata al-ajr, yaitu imbalan atas sebuah pekerjaan, dan juga dimaksudkan dengan pahala. Adapun al-ijaaroh : nama untuk upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap pekerjaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa al-ijaaroh atau akad sewa terbagi menjadi dua : sewa barang. sewa pekerjaan.
Kedua: at-tamliik secara bahasa bermakna : menjadikan orang lain memiliki sesuatu. Adapun menurut istilah ia tidak keluar dari maknanya secara bahasa. Dan at-tamliik bisa berupa kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat, bisa dengan ganti atau tidak.
 Jika kepemilikan terhadap sesuatu terjadi dengan adanya ganti maka ini adalah jual beli. Jika kepemilikan terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti maka disebut persewaan. Jika kepemilikan terhadap sesuatu tanpa adanya ganti maka ini adalah hibah/pemberian. Adapun jika kepemilikan terhadap suatu manfaat tanpa adanya ganti maka disebut pinjaman.
Ketiga : definisi “al ijarah al muntahia bit tamlik  (persewaan yang berujung kepada kepemilikan) yang terdiri dari dua kata adalah ;  sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.

M.  Landasan Hukum Ijarah Muntahia Bittamlik
Sebagai suatu transaksi yang bersifat tolong menolong, ijarah mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Quran dan Hadist. Landasan ijarah disebut secara terang dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 233 Allah menjelaskan bahwa :
وَإِنۡ أَرَدتُّمۡ أَن تَسۡتَرۡضِعُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا سَلَّمۡتُم مَّآ ءَاتَيۡتُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ٢٣٣
Artinya: ”dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan.
Fatwa MUI tentang Ijarah Muntahia Bittamlik
a.    Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
b.    Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (
الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.

N.   Bentuk Al – Ijaroh al muntahia bit Tamlik
Ada 2 bentuk Al – Ijaroh al muntahia bit Tamlik:
1.      Hibah, yakni transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang secara hibah dari pemilik objek sewa kepada penyewa. Pilihan ini diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Sehingga akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank
2.      Janji untuk menjual, yakni transaksi ijarah yang diikuti dengan janji menjual barang objek sewa dari pemilik objek sewa kepada penyewa dengan harga tertentu. Pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, maka akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, maka ia harus membeli barang itu di akhir periode.


BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa gadai atau rahn adalah perjanjian atau transaksi utang-piutang/pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai jaminan atau tanggungan utang.
Dalam islam gadai itu sendiri diperbolehkan, landasan hukum gadai terdapat pada Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 282-283, Hadits yang telah dipaparkan, dan ijma’. Adapun rukun dalam gadai adalah adanya ijab qabul (shighat), orang yang bertransaksi (penerima dan pemberi gadai), adanya barang yang digadaikan dan adanya hutang.Sedangkan syarat gadai adalah Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai, bukan orang gila dan anak-anak, orang yang berakal dan baligh (dewasa).
Para jumhur ulama berbeda pendapat tentang pemanfaatan barang yang digadaikan. Para imam madzhab selain imam hanbali melarang barag yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai meskipun mendapat izin dari rahin. Namun demikian ada sebagian ulama yang memperbolehkan barang yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai, jika barang tersebut berupa kendaraan atau binatang ternak yang dapat diambil manfaatnya dan memerlukan biaya perawatan maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang tersebut dan disesuaikan dengan biaya perawatannya selama barang tersebut ada padanya.
                Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, objek sewa menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang). Dari segi imbalannya, ijarah ini mirip dengan jual beli, tetapi kedunya berbeda, karena dalam jual beli obyeknya benda, sedangkan dalam ijarah, obyeknya adalah manfaat dari benda. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyewa pohon untuk diambil buahnya karena buah itu benda, buakan manfaat. Demikian pula tidak diperbolehkan menyewa sapi untuk diperah susunya karena susu bukan manfaat, melainkan benda.
B.     Saran
        Dari pembahasan yag telah kami sajikan diatas, kami berharap mudah – mudahan setelah kita mempelajari pelajaran mengenai gadai dan sewa ini, agar bisa kita jadikan sebagai rujukan dalam melakukan kegiatan perekonomian sehari-hari. Amin.



DAFTAR PUSTAKA

Zuhaili, WahbahFiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.73-84.

Ustman bin Muhammad Syattha, hasiyyat I’anat At-thalibien ‘ala Hall Alfadz Fath al-Mu’in, (Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2007, Cet.2, Vol.3) hal.94

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshary al-Qurtuby, Al-Jami Li Ahkam al-Qur’an jilid 3 ( Dar Ihya al-Tratsi al-Araby, 1985) hal.412.or.879) hal.149